Pendidikan menjadi pondasi utama dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing. Melalui pendidikan yang merata dan berkualitas, anak-anak diharapkan dapat tumbuh dengan bekal ilmu, keterampilan, dan karakter yang kuat. Namun, di Jawa Tengah, masih terdapat tantangan besar dalam pemerataan akses pendidikan, terutama di daerah terpencil dengan keterbatasan fasilitas dan SDM.

Dalam dialog interaktif kali ini, Dj Jihan Nisrina ditemani dengan dr. Hj. Siti Sholehah Kurniawati, Hj. Ida Farida, M.Pd., dan Bagus Suryokusumo, S.Pd. selaku anggota DPRD Jawa Tengah akan membahas berbagai persoalan dan solusi terkait pendidikan, mulai dari pemerataan akses, pemanfaatan teknologi, hingga peran orang tua dalam membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan.

Tantangan Pemerataan Pendidikan di Jawa Tengah

Ilustrasi seorang anak dengan topi sekolah (Muhammad Ridzky Ramadhani/unsplash)

Masih banyak hambatan dalam mewujudkan pendidikan merata di Jawa Tengah. Menurut Hj. Ida Farida, perbedaan geografis—antara perkotaan, pedesaan, pegunungan, pesisir, hingga daerah terpencil — menjadi tantangan serius. Tidak semua wilayah memiliki fasilitas pendidikan yang memadai, bahkan masih terdapat blank spot tanpa sekolah sehingga anak harus menempuh perjalanan jauh untuk belajar. Faktor ekonomi masyarakat juga berperan, karena sebagian orang tua lebih memilih anaknya bekerja daripada bersekolah.

Situasi ini semakin diperumit dengan persepsi sebagian masyarakat yang menganggap sekolah swasta terlalu mahal, sehingga mereka enggan menyekolahkan anaknya meskipun sekolah negeri di sekitar tempat tinggal tidak tersedia. Akibatnya, angka partisipasi pendidikan di tingkat menengah atas masih jauh dari harapan dan kesenjangan antara daerah perkotaan serta pedesaan semakin terasa.

Secara kuantitatif, tantangan ini terlihat jelas dari indikator partisipasi pendidikan. Berdasarkan data Susenas 2023, Angka Partisipasi Sekolah (APS) pada kelompok usia 16–18 tahun (target jenjang SMA) hanya mencapai sekitar 73,42 %, sementara pada usia 19–23 tahun (yang banyak mengecap jenjang perguruan tinggi) bahkan merosot drastis ke 28,96 %. Artinya, hampir separuh penduduk usia sekolah menengah tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat lanjutan atau tinggi.

Lebih spesifik lagi, data darBPS Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) untuk jenjang SMA di beberapa kabupaten masih rendah. Misalnya, pada tahun 2023 APM SMA di Kabupaten Banjarnegara hanya sekitar 46,91 %, di Wonosobo 52,23 %, dan di Purbalingga 53,67 %. Ini berarti bahwa tidak sedikit siswa usia wajib sekolah menengah tidak bersekolah.

Sebagai contoh kasus nyata yang ditemukan di lapangan, Bagus Suryokusumo menemukan fakta bahwa di wilayah pesisir Rembang, di mana anak usia 15 tahun sudah bekerja mencari ikan dan menghasilkan uang sendiri. Akibatnya, semangat untuk melanjutkan pendidikan menjadi rendah, sehingga pemerintah harus melakukan pendekatan langsung ke masyarakat untuk mengajak anak-anak kembali ke sekolah. Bahkan ada orang yang dengan sengaja membayari anak-anak tersebut untuk bekerja — bukan untuk sekolah.

Selain rendahnya minat untuk melanjutkan pendidikan di tingkat atas, ketimpangan juga terlihat dari ketersediaan guru yang belum merata. Di daerah perkotaan, jumlah guru relatif mencukupi, bahkan ada sekolah yang kelebihan tenaga pendidik. Sebaliknya, di daerah terpencil sering terjadi kekurangan guru, yang berdampak pada kualitas pembelajaran. Hal ini diperparah oleh masih adanya stigma masyarakat terhadap sekolah swasta yang dianggap mahal dan kurang berkualitas dibanding sekolah negeri. Padahal, sekolah swasta berpotensi besar menjadi mitra pemerintah dalam memperluas akses pendidikan.

Program Sekolah Kemitraan sebagai Solusi

Ilustrasi sekolah (Haidan/unsplash)

Untuk menjawab tantangan pemerataan pendidikan, pemerintah bersama DPRD Provinsi Jawa Tengah meluncurkan program Sekolah Kemitraan. Program ini hadir sebagai langkah strategis untuk menutup kesenjangan akses pendidikan, khususnya di wilayah yang belum memiliki sekolah negeri. Melalui program ini, sekolah swasta dijadikan mitra pemerintah, sehingga siswa dari daerah yang tidak memiliki sekolah negeri tetap dapat melanjutkan pendidikan tanpa terbebani biaya.

Mekanisme program ini cukup jelas: pemerintah memberikan subsidi atau bantuan biaya pendidikan kepada sekolah swasta yang ditunjuk sebagai mitra. Dengan begitu, masyarakat tidak perlu lagi khawatir akan mahalnya biaya sekolah swasta. Program ini sekaligus menghapus stigma bahwa sekolah swasta hanya untuk kalangan tertentu, serta membuktikan bahwa kolaborasi antara sekolah negeri dan swasta bisa menjadi solusi konkret dalam pemerataan pendidikan.

▶️ Baca juga: Ini Daftar 139 SMA/SMK Swasta di Jateng yang Gratiskan Siswa Miskin  

Selain memberikan akses lebih luas, program ini juga membantu meringankan permasalahan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Sebelumnya, sistem zonasi sulit diterapkan di daerah yang tidak memiliki sekolah negeri. Dengan adanya sekolah kemitraan, jalur zonasi bisa lebih adil, ditambah jalur prestasi dan afirmasi bagi siswa kurang mampu. DPRD menegaskan bahwa hak anak untuk mendapatkan pendidikan sudah diatur dalam Undang-Undang, sehingga program ini menjadi bagian dari pemenuhan kewajiban negara terhadap warganya.

Namun, pelaksanaan program ini tidak serta merta tanpa kendala. Dibutuhkan pemetaan sekolah swasta yang benar-benar layak dijadikan mitra, baik dari sisi kualitas pengajaran maupun kelengkapan fasilitas. Selain itu, DPRD menilai perlu adanya pengawasan berkelanjutan agar dana bantuan tepat sasaran dan mutu pendidikan di sekolah mitra tidak kalah dengan sekolah negeri.

Jika berjalan optimal, Sekolah Kemitraan dapat menjadi model pemerataan pendidikan yang tidak hanya relevan di Jawa Tengah, tetapi juga dapat diadopsi daerah lain dengan karakteristik serupa. Program ini diharapkan mampu menekan angka anak putus sekolah, meningkatkan angka partisipasi pendidikan menengah, sekaligus memperkuat kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam mewujudkan pendidikan berkualitas untuk semua.

Pendidikan sebagai Investasi SDM di Era Digital

Ilustrasi anak-anak sedang menggunakan gawai mereka masing-masing (Fajar Herlambang STUDIO/unsplash)

Pendidikan pada dasarnya merupakan investasi jangka panjang dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM). Seperti yang disampaikan Bagus Suryokusumo, kualitas pendidikan akan berpengaruh langsung pada kualitas pembangunan daerah. Seseorang yang terdidik tidak hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Dengan demikian, pendidikan menjadi modal penting untuk meningkatkan daya saing Jawa Tengah di tingkat nasional maupun global.

Namun, masih ada tantangan besar dalam memaknai arti pendidikan. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa sekolah tidak selalu menjadi penentu kesuksesan. Pandangan seperti ini kerap membuat anak-anak berhenti sekolah lebih awal untuk bekerja dan membantu perekonomian keluarga. Kasus di Rembang, misalnya, menunjukkan ada anak usia 15 tahun yang sudah bekerja sebagai pencari ikan karena merasa tidak membutuhkan sekolah. Kondisi ini menggambarkan bahwa perubahan mindset masyarakat menjadi sangat penting. Pendidikan tidak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga membentuk karakter, memperluas wawasan, serta membuka kesempatan hidup yang lebih baik di masa depan.

▶️ Baca juga: Yuk Kenali SPMB 2025 Salatiga: Semua yang Perlu Kamu Tahu Tentang Jalur, Jadwal, dan Kuota Penerimaan!

Di sisi lain, perkembangan teknologi membawa peluang sekaligus tantangan bagi dunia pendidikan. Pemanfaatan teknologi digital mampu membuka akses informasi dan metode pembelajaran yang lebih variatif, termasuk di daerah pedesaan dengan dukungan internet dari pemerintah daerah. Platform pembelajaran daring dan aplikasi edukasi juga semakin banyak digunakan untuk mendukung siswa maupun guru. Akan tetapi, teknologi bukanlah pengganti guru. Seperti ditegaskan dr. Siti Sholehah, teknologi hanya alat bantu yang perlu digunakan secara bijaksana. Jika tidak dikendalikan, penggunaan gawai berlebihan justru dapat mengganggu konsentrasi belajar dan mengurangi interaksi sosial anak.

Oleh karena itu, pendidikan di Jawa Tengah harus diletakkan pada tiga pilar penting: pertama, memperkuat pendidikan sebagai investasi SDM; kedua, mengubah pola pikir masyarakat agar memandang pendidikan sebagai kebutuhan dasar, bukan pilihan; dan ketiga, mengoptimalkan teknologi digital dengan tetap menekankan peran guru serta orang tua. Sinergi ketiga aspek ini akan menjadikan pendidikan di Jawa Tengah lebih inklusif, adaptif terhadap perubahan zaman, serta berdampak nyata bagi pembangunan daerah.

Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, DPRD, tenaga pendidik, dan masyarakat. Upaya pemerataan pendidikan di Jawa Tengah membutuhkan kolaborasi dari semua pihak agar generasi muda memiliki kesempatan yang sama dalam meraih masa depan. Melalui langkah konkret seperti program sekolah kemitraan, peningkatan fasilitas, serta pemanfaatan teknologi, harapannya Jawa Tengah dapat menjadi daerah dengan pendidikan yang berkualitas, merata, dan berdampak nyata bagi pembangunan.

Please follow and like us:
Pin Share

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow by Email
Instagram
Telegram