KBRN, Jakarta: Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang lanjutan perkara penyebaran berita bohong dengan terdakwa Petinggi Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI), Jumhur Hidayat, Senin (10/5/2021). Adapun agenda sidang kali ini mendengarkan keterangan saksi fakta dari terdakwa.
Peneliti Kontras, Rozi Brilian menjadi satu-satunya saksi ahli yang dihadirkan. Dia mengaku pernah menjabat sebagai Koordinasi Departemen Aksi dan Propaganda BEM Universitas Indonesia di tahun 2019 lalu dan menjabat sebagai Kordinator Bidang Sosial Politik di tahun 2020.
“Saya selalu hadir tatkala kampusnya itu menggelar aksi pada suatu isu, dalam konteks ini penolakan terhadap UU Omnibuslaw Cipta Kerja,” ujar Rozi kepada Hakim.
“Setidaknya dalam setahun ada 5 atau 6 aksi khusus untuk menolak omnibus. Aksinya Juli sampai Agustus kita menuju DPR karena sesaat itu belum disahkan tapi setelah di sahkan 5, 6 Oktober kami beralih ke istana negara menuntut Presiden mengeluarkan Perppu. Kami aksi tanggal 8 dan 20 oktober,” sambung Rozi.
Menurut Rozi, penolakan yang dilakukannya bersama rekan-rekan di BEM UI ini murni berangkat dari keresahan. Sebelum turun ke jalan pun mereka sudah melakukan kajian dan menemukan adanya aturan yang dinilai merugikan pekerja.
“Kami mengira ada regulasi yang sangat profokatif kami juga sudah melakukan kajian dalam beberapa klaster. Misal, saya kasih contoh pasal 151 yang mempermudah pemutusan kerja. Bila sebelumnya menyatakan pihak diusahakan tidak dilanjutkan tapi di pasal 151 dia hanya mensyaratkan. Ini merupakan celah yang ampuh ketika bicara konsepsi hukum,” jelas Rozi.
Terakhir dia menegaskan bahwa ada banyak yang menyuarakan penolakan terhadap UU tersebut di media sosial, bukan hanya Jumhur seorang. Tapi juga dari berbagai lembaga sosial lainnya.
“Waktu itu begitu banyak seruan-seruan aksi yang ada di media sosial, saya tidak tau persisnya mereka itu secara individu, karena saya tidak menanyakan satu persatu mereka ikut aksi karena apa tapi teman dekat saya dan beberapa bem sebelumnya sudah berkonsolidasi,” tegas Rozi.
Sebelumnya, JPU mendakwa Jumhur telah menyebarkan berita bohong dan membuat keonaean lewat cuitannya di Twitter pribadinya terkait UU Omnibuslaw Cipta Kerja.
Menurut Jaksa, cuitan Jumhur itu ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.
Akibatnya timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang mulai 8 Oktober 2020 lalu dan berakhir ricuh.
Adapun akun Twitter yang dimaksud @jumhurhidayat, disana dia mengunggah kalimat dengan narasi “Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah”.
Lalu pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan dengan narasi “UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini”.
Karena perbuatannya, Jumhur didakwa dengan dua dakwaan alternatif.Pertama, Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP, atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari Undang-Undang RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.