KBRN, Jakarta: Kementerian Keuangan memastikan pencairan dana tunjangan hari raya (THR) bagi aparatur sipil negara (ASN) seperti PNS, TNI, dan Polri paling cepat mulai dilakukan pada 28 April 2021.
Hal ini sesuai informasi yang sudah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menko Perekonomian Airlangga beberapa waktu lalu yang menjelaskan pencairan THR bertahap mulai H-10 sampai H-5 lebaran.
Tunjangan Hari Raya atau biasa disebut THR sendiri adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan di Indonesia.
Hari raya keagamaan yang dimaksud adalah hari raya Idul Fitri bagi pekerja yang beragama Islam, hari raya Natal bagi pekerja yang beragama Kristen Katholik dan Protestan, hari raya Nyepi bagi pekerja beragama Hindu, hari raya Waisak bagi pekerja beragama Budha dan hari raya Imlek bagi pekerja yang beragama Konghucu.
Berdasarkan informasi dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), THR pertama kali diadakan pada era Kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi sekitar tahun 1950-an.
THR tersebut diberikan sebagai salah satu program pemerintah meningkatkan kesejahteraan pada aparatur sipil negara atau yang waktu itu disebut sebagai pamong pradja. Uang tunjangan ini diberikan kepada semua pegawai pada akhir bulan Ramadhan.
Pada 13 Februari 1952, para buruh mogok bekerja dan menuntut pemerintah menurunkan uang THR juga untuk kelompoknya. Akan tetapi, upaya mereka dibungkam oleh tentara yang diturunkan pemerintah.
Para penentang berargumen, THR yang hanya diberikan kepada pamong praja sebagai tindakan tidak adil. Padahal, mereka juga sama-sama bekerja, baik di perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Dari waktu ke waktu, kaum buruh terus mendesak pemerintah untuk mewujudkan THR. Puncaknya, kaum buruh melakukan mogok kerja serentak nasional menuntut hak THR dari pemerintah.
Untuk mengakomodir buruh, pemerintah lewat Menteri Perburuhan S.M Abidin kemudian menerbitkan Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1954. Besaran THR untuk pekerja swasta adalah sebesar seperduabelas dari gaji yang diterima dalam rentan waktu satu tahun.
Jumlah paling sekurang-kurangnya adalah Rp 50 dan paling besar Rp 300. Namun surat edaran tersebut hanya bersifat imbauan. Artinya, banyak perusahaan yang tidak membayarkan THR karena menganggapnya sebagai tunjangan pegawai yang diberikan sukarela.
Pada tahun 1954, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri. Sesuai dengan namanya, sebelum seperti sekarang, pada awalnya THR PNS berbentuk persekot atau pinjaman di muka, di mana nantinya harus dikembalikan lewat pemotongan gaji.
Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961 atau saat Menteri Perburuhan dijabat oleh Ahem Erningpraja. Aturan mengenai besaran dan skema THR secara lugas baru diterbitkan pemerintah pada tahun 1994 yakni lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.
Tahun 2016 pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan, merevisi peraturan mengenai THR. Perubahan ini tertuang dalam peraturan menteri ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016.
Dalam peraturan ini menyebutkan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya.
Selain itu kewajiban pengusaha untuk memberikan THR, tidak hanya diperuntukan bagi karyawan tetap, melainkan juga untuk karyawan kontrak. Disebutkan pula bahwa THR diberikan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari raya keagamaan masing-masing pekerja.
Tetapi pada 2018 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 dan 19/2018 tentang THR dan gaji ke-13.
Menurut peraturan itu, PNS, pensiunan PNS, prajurit TNI, anggota Polri, pejabat, anggota MPR, DPR, DPD, menteri dan pejabat setingkat menteri, gubernur, wali kota, bupati dan wakilnya berhak mendapatkan THR dan gaji ke-13.