Sejak hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya, saya menyadari secara tidak langsung mulai ada timbulnya perasaan dendam pada kota tempat di mana saya lahir. Sulit untuk diakui, tapi Kota Jakarta memang kerap memberikan hal-hal destruktif yang umumnya hanya didapatkan oleh mereka yang sudah keluar dari tempat mereka dilahirkan itu untuk kemudian pergi ke kota lain hanya untuk melanjutkan tujuan hidup. 

Mulai peristiwa kecil yang terjadi jika seseorang bertanya, “Aslinya dari mana Mas/Mbak?” Jika hal itu terjadi di suatu desa yang mungkin menjadi korban sentralisasi ibu kota, biasanya cukup banyak raut wajah yang mulai berubah ketika saya bilang “Aslinya dari Jakarta.” Memang tidak selalu menimbulkan respons negatif, namun tidak banyak juga yang merespons dengan positif. Sayangnya, mengapa percakapan basa basi di awal yang seharusnya bisa menjadi pencair suasana, malah menjadikannya dingin dan betulan basi?

Ya memang sih stereotip bahwa Kota Jakarta sebagai kota ibu kota cenderung membuatnya terasa istimewa karena adanya pengaturan kewenangan dari pemerintah. Tapi, di luar urusan tersebut apakah dapat dibenarkan bahwa semua orang dari Jakarta adalah bagian dari yang ikut merasakan hak-hak khusus ibu kota? Apakah orang yang memikirkan hal seperti itu pernah merasakan saat mereka ingin makan namun tak ada tetangga yang mengkhawatirkan hidupnya? Apakah semua dari mereka yang tinggal di ibu kota terpenuhi kebutuhan batinnya? Pernahkah ia berkunjung ke barat Kota Jakarta?

Apakah berita tentang angkuhnya Kota Jakarta lantas membuat orang-orangnya juga bersifat angkuh? Memang siapa sih penghuni Jakarta? 

Mencoba untuk memahami berbagai persoalan tersebut, saya pun mencari kota yang biasa disebut istimewa dan baik sebagai obat, ya, saya kemudian ingin memahami Yogyakarta sebagai antitesis Kota Jakarta. Saya pergi ke Yogyakarta untuk kembali memahami arti “rumah” itu sendiri.

Ternyata kota yang juga dijuluki sebagai kota pelajar ini telah membantu saya untuk menemukan jawaban tersebut.

Secara tidak langsung Jogja memberikan beberapa hal yang tak saya dapatkan di Jabodetabek. Bagaimana suatu interaksi dapat terjaga dengan sistem kebudayaan yang selalu terjaga, bentuk terimakasih yang tak ada habisnya, menjadikan manusia seperti layaknya makhluk hidup yang memiliki salah dan benar.

Ternyata Jogja mempunyai humor yang cukup baik bagi saya. Ia memberi tahu bagaimana kehidupan dasar yang memang sudah seharusnya terjadi, hal-hal yang mungkin jarang dibawa ke ranah dasar. Jogja merupakan kota istimewa dengan romantisme yang akan membuat siapa saja pengunjungnya merasa nyaman. Memang hal tersebut tidak salah bagi mereka yang hanya berkunjung untuk sesaat. Butuh waktu menetap yang lebih untuk mengerti bagaimana jenakanya Jogja.

Saya cukup telat untuk sadar dan yakin bahwa suatu kota tidak dapat dinilai hanya karena bentuk perilaku mayoritas penduduknya. Jogja juga sama seperti Kota Jakarta, ia didatangi oleh banyak manusia dari berbagai daerah dengan karakternya masing-masing. Tidak semua kehidupan di Jogja itu adem ayem, tidak semua momen yang tercipta itu selalu menghasilkan memori yang baik untuk dikenang. Segala kekacauan ibu kota juga dirasakan di daerah istimewa ini. Tinggallah lebih lama di Jogja untuk mengerti beberapa hal yang mungkin dapat membuat kita merasakan bahwa Jogja dan Jakarta tidak jauh berbeda.

Banyak hal yang saya dapatkan dari pengalaman yang sudah saya lalui selama berpindah-pindah ke beberapa kota. Dengan segala penilaian subjektif terhadap seseorang hanya berdasarkan dari mana ia berasal, penilaian tersebut bisa sama sekali keliru. Setiap orang tidak dapat ditentukan karakteristiknya hanya dari stereotip terkait budaya, lingkup sosial, ataupun kota kelahiran.

Berhenti memukul rata bahwa mereka yang berasal dari kota itu sama seperti apa yang kalian konsumsi dari berbagai media. Pada dasarnya kita semua ya memang manusia, siapa yang tidak pernah berbuat dosa lalu merasa dirinya suci di antara lainnya? Setiap orang selalu mempunyai porsinya masing-masing untuk menjadi setan atau malaikat, mari berhenti untuk saling menghakimi.

Tidak semua orang dari Kota Jakarta berwatak seperti setan. Tidak semua yang nyaman di Jogja otomatis berhati malaikat, ramah, dan sabar. Kedua kota ini sama-sama ramai oleh pendatang, ramai oleh karakteristik yang beragam. Jakarta menuntutmu serba cepat, Yogyakarta mungkin sebaliknya, mengharuskanmu sabar. Namun, keduanya menyimpan sekam masing-masing. Saya kemudian menyadari bahwa dendam akan kota kelahiran tidaklah tepat. Pun dengan memuja-muja kota “pelarian” yang dibilang istimewa ini. Lingkungan sosial bukan rumus matematika yang pasti diketahui setelah kita “menghitung” karakteristik orangnya.

BACA JUGA Pengalaman Konyol Orang Jawa Timur yang Merantau ke Jakarta

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya 

The post Tidak Semua Setan Betah di Kota Jakarta, Tidak Semua Malaikat Nyaman di Jogja appeared first on Terminal Mojok.

About Post Author

Bagikan Dengan Sekali Klik: