Akhir-akhir ini banyak sekali kasus kekerasan di sekolah yang mengakibatkan para orang tua khawatir dengan kesejahteraan anaknya di sekolah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mendalam tentang lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung perkembangan anak. Banyak upaya yang dilakukan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif dalam mengurangi tindakan kekerasan.
Bersama dengan Dinas Pendidikan Kota Salatiga, Dj. Randu Wardhana akan membahas seputar pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan sektor pendidikan.
Indonesia Darurat Kekerasan di Lingkungan Sekolah
Berdasarka data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2024, tercatat 141 kasus kekerasan terhadap anak, dengan 35% di antaranya terjadi di lingkungan sekolah atau satuan pendidikan. Selain itu, terdapat 46 kasus anak yang mengakhiri hidup, dan 48% dari kasus tersebut terjadi saat anak masih mengenakan seragam sekolah.
Kekerasan dalam lingkup sekolah dikategorikan menjadi kekerasan fisik, perundungan (bullying), kekerasan seksual, dan diskriminasi kebijakan satuan pendidikan. Data dari Asesmen Nasional Kemendikburistek tahun 2022, 34,51% (1 dari 3) peserta didik bepotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9% (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36, 31% (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan. Sebanyak 20% anak laki-laki dan 25,4% anak perempuan dengan rentang umur 13-17 tahun mengaku pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih.
Atas dasar data yang ada, tentunya kekerasan di lingkungan sekolah menjadi perhatian tidak hanya bagi pemerintah dan Kemendikburistek saja, tetapi juga bagi orang tua dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman bagi para peserta didik dalam mengampu pendidikan untuk meraih prestasi.
Kebijakan Kemendikburistek Terhadap Kekerasan di Lingkup Sekolah
Untuk melindungi para peserta didik dari kekerasan dalam lingkup sekolah, Kemendikburistek bersama sejumlah instansi menandatangani perjanjian kerja sama (PKS) tentang implementasi pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan (PPKSP) pada tanggal 12 Oktober 2023. Intansi tersebut adalah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kementerian Sosial (Kemensos), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Komisi Nasional Disabilitas (Komnas Disabilitas).
Selain itu Kemendikburistek memperbaharui Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 dengan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 untuk memperinci langkah-langkah pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan sekolah. Pembaharuan ini mencakup kebijakan yang lebih komprehensif tentang perlindungan anak, mekanisme pelaporan yang lebih jelas, serta pemberian sanksi yang tegas bagi pelaku kekerasan dengan melibatkan semua pihak.
Tidak hanya anak didik yang dilindungi, sasaran peraturan ini juga termasuk lepada para pendidik (guru, konselor, pamong belajar, dosen, instruktur, dan sebutan lain sesuai dengan kekhususannya), tenaga kependidikan (staf administrasi, kepala sekolah, dan tenaga kebersihan), dan warga satuan pendidikan yang beraktifitas atau bekerja dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, setiap individu yang terlibat dalam lingkungan pendidikan mendapatkan perlindungan hukum yang memadai, memastikan terciptanya suasana belajar yang aman, nyaman, dan kondusif untuk semua pihak.
6 Jenis Kekerasan yang Didefinisikan dalam Permendikbudristek PPKSP
Untuk mempermudah pemberian sanksi, Kemendikburistek mengkategorikan 6 jenis kekerasan yang mencakup kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan (bullying), kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, dan kebijakan yang mengandung kekerasan. Bentuk kekerasan ini bisa dilakukan melalui fisik, verbal, nonverbal, atau melalui media teknologi (daring atau online).
Kekerasan fisik
Dilakukan dengan kontak fisik baik menggunakan alat maupun tanpa alat bantu. Kekerasan fisik mencakup tindakan seperti tawuran atau perkelahian massal, penganiayaan,perkelahian, eksploitasi ekonomi melalui kerja paksa untuk memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku, pembunuhan, dan/atau perbuatan lain yang dinyatakan sebagai Kekerasan fisik dalam ketentuan peraturan perundang- undangan.
Jenis kekerasan ini sering kali meninggalkan bekas atau luka yang dapat terlihat secara langsung, sehingga lebih mudah untuk diidentifikasi. Dampak dari kekerasan fisik tidak hanya terbatas pada cedera fisik tetapi juga dapat memengaruhi kondisi psikologis korban, menyebabkan trauma, ketakutan, dan gangguan emosional yang berkepanjangan.
Kekerasan psikis
Dilakukan tanpa kontak fisik untuk merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman. Kekerasan jenis ini pelaku menggunakan kata-kata, isyarat, atau perilaku non-fisik lainnya untuk menyakiti atau mengendalikan korban. Contoh tindakan kekerasan ini meliputi pengucilan, penolakan, pengabaian, penghinaan, penyebaran rumor, panggilan yang mengejek, intimidasi, teror, perbuatan mempermalukan di depan umum, pemerasan, dan/atau perbuatan lain yang sejenis.. Meskipun tidak meninggalkan bekas fisik, kekerasan psikis dapat menyebabkan kerusakan yang mendalam pada kesehatan mental dan emosional korban, seperti rasa rendah diri, depresi, kecemasan, dan trauma.
Perundungan
Kekerasan fisik dan/atau psikis yang dilakukan berulang dan ada relasi kuasa disebut sebagai perundungan atau bullying. Dalam situasi ini, pelaku memanfaatkan posisi kekuasaan untuk menindas atau mengintimidasi korban secara terus-menerus. Kekerasan ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, seperti pelecehan verbal, ancaman, pemaksaan, serta tindakan fisik yang berulang. Bentuk tindakan perundungan dapat berupa penganiayaan, pengucilan, penolakan, pengabaian, penghinaan, penyebaran rumor, panggilan yang mengejek, intimidasi, teror, perbuatan mempermalukan di depan umum, pemerasan, dan/atau perbuatan lain yang sejenis.
Relasi kuasa dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk perbedaan usia, status sosial, jabatan, atau kekuatan fisik. Dampak dari kekerasan berbasis kekuasaan ini sangat merugikan, tidak hanya mengakibatkan cedera fisik tetapi juga kerusakan psikologis yang mendalam pada korban, seperti kehilangan rasa percaya diri, kecemasan, depresi, dan trauma berkepanjangan.
Kekerasan Seksual
Tindakan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang dengan objek bagian tubuh atau fungsi reproduksi seseorang. Tindakan ini tidak hanya melanggar hak asasi dan martabat korban, tetapi juga menyebabkan dampak psikologis yang serius, seperti trauma, depresi, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Kekerasan seksual sering kali terjadi dalam konteks di mana ada ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban, yang membuat korban merasa takut atau enggan untuk melaporkan kejadian tersebut.
Dalam pasal 10 ayat 2, bentuk kekerasan seksual seperti:
- Perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja;
- Penyampaian ucapan yang membuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa sensual pada korban;
- Pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban;
- Perbuatan mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa sensual;
- Perbuatan mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual;
- Perbuatan mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
- Perbuatan membujuk, menjanjikan, atau menawarkan sesuatu kepada korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual; dan
- Pemberian hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.
Diskriminasi dan intoleransi
Tindakan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan atas dasar identitas suku atau etnis, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, usia, status sosial, ekonomi, jenis kelamin, kemampuan intelektual, mental, sensorik, dan fisik. Praktik diskriminasi dapat mengakibatkan ketidaksetaraan kesempatan, perlakuan tidak adil, dan marginalisasi terhadap individu atau kelompok. Dampaknya bisa sangat merugikan, menciptakan lingkungan yang tidak inklusif dan menimbulkan stres emosional serta mental pada korban.
Dalam pasal 11 ayat 2, bentuk diskriminasi seperti:
- Larangan untuk mengikuti mata pelajaran agama/kepercayaan yang diajar oleh pendidik sesuai dengan agama atau kepercayaan peserta didik yang diakui oleh pemerintah;
- Pemaksaan untuk menggunakan seragam/pakaian kerja bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai peraturan seragam sekolah;
- Mengistimewakan calon pemimpin/pengurus organisasi berdasarkan latar belakang identitas tertentu di satuan pendidikan;
- Larangan untuk menggunakan seragam/pakaian kerja bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai pengaturan seragam sekolah maupun seragam pendidik dan tenaga kependidikan;
- larangan untuk mengamalkan ajaran agama atau kepercayaan yang sesuai keyakinan agama atau kepercayaan yang dianut oleh peserta didik, pendidik, atau tenaga kependidikan;
- Perbuatan mengurangi, menghalangi, atau membedakan hak dan/atau kewajiban pendidik atau tenaga kependidikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- Perbuatan diskriminasi dan intoleransi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sanksi Pelaku Kekerasan dalam Sekolah
Dalam memastikan upaya yang menyeluruh dalam pencegahan kekerasan di lingkup sekolah, tentu ada mekanisme yang harus diikuti dan diterapkan secara konsisten. Mekanisme ini mencakup penerapan kebijakan anti-kekerasan yang tegas, pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan, sosialisasi, pelatihan dan pendidikan penguatan karakter, memastikan dan menyediakan sarana dan prasarana yang aman dan ramah disabilitas, serta menyediakan saluran pelaporan yang aman dan mudah diakses oleh siswa dengan menjamin kerahasiaan dan perlindungan bagi pelapor.
Maka dari itu, dibentuk TPPK atau Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di setiap sekolah. Tugas utama TPPK adalah melakukan pemantauan, identifikasi, dan penanganan cepat terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. TPPK juga bertanggung jawab untuk menyusun dan mengimplementasikan program-program edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya lingkungan sekolah yang bebas dari kekerasan. Selain itu, TPPK berperan dalam memberikan pendampingan dan dukungan psikologis kepada korban kekerasan, serta memastikan adanya koordinasi yang baik antara pihak sekolah, orang tua, dan pihak berwenang dalam menangani kasus kekerasan.
Bentuk sanksi yang diberikan terbagi menjadi dua berdasarkan siapa pelakunya berdasarkan Pasal 58 – 60. Bila pelaku merupakan peserta didik, pemberian sanksi administratif dilakukan oleh kepala satuan pendidikan dengan tingkatan sanksi ringan berupa teguran tertulis, sanksi sedang berupa tindakan edukatif, dan sanksi berat berupa pemindahan peserta didik ke satuan pendidikan lainnya.
Sedangkan bila pelaku merupakan pendidik dan tenaga kependidikan ASN, pemberian sanksi administratif dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Bagi pendidik dan tenaga kependidikan non-ASN, pemberian sanksi dilakukan oleh pihak yang berwenang dengan bentuk teguran tertulis, pernyataan permohonan maaf tertulis yang dipublikasikan, pengurangan hak, pemberhentian sementara, dan pemutusan atau pemberhentian hubungan kerja.
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama, sehingga pentingnya untuk menciptakan lingkungan sekolah yang bebas dari kekerasan bukan hanya tanggung jawab satu pihak saja, tetapi merupakan kewajiban bersama. Dengan upaya bersama ini, kita dapat memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan untuk belajar dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan mendukung, sehingga mereka dapat mencapai potensi terbaik mereka dan menjadi generasi penerus yang tangguh dan berprestasi.