Pernikahan dini atau pernikahan anak masih terjadi sampai saat ini, bahkan isu serius ini masih dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan data ada ribuan anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun setiap tahunnya, meski terjadi trend penurunan angka pernikahan.
Untuk mengatasinya tentunya pendidikan seks atau sex education merupakan solusi untuk menghindari pernikahan dini. Bersama dengan Dj. Icha Fellica dan P3APPKB Kota Salatiga akan membahas permasalahan tentang pernikahan dini atau pernikahan anak dalam menuju Indonesia Emas 2045 dan Indonesia Layak Anak 2030.
Anak, Pernikahan Dini, dan Undang-Undangnya
Seorang anak dapat dikategorikan berdasarakan umurnya. Berdasarkan Undang-Undang untuk dapat disebut sebagai anak bila seseorang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada di kandungan atau anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
Sehingga pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang masih dikategorikan sebagai anak-anak atau remaja. Padahal minimal umur seseorang untuk dapat menikah adalah 19 tahun berdasarkan pada UU Nomor 16 Tahun 2019, lalu disempurnakan lagi lewat kebijakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan umur 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Hal ini ditentukan berdasarkan kesiapan dan kematangan seseorang (dalam segi keuangan, mental/emosi, pengetahuan, dan reproduksi) dalam membina rumah tangga.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya 26,48% perempuan menikah pertama kali ketika berumur 16-18 tahun. Berdasarkan data dari UNICEF, Indonesia menempati posisi keempat dengan 25,53 juta perempuan menikah di bawah usia 18 tahun disusul dengan Cina (35,43 juta), Bangladesh (41,58 juta), dan India (216,65 juta) yang menempati posisi pertama. Tentunya melihat tingginya kasus, diperkirakan bahwa 300 tahun pernikahan dini baru bisa dihapus.
Jangan Rampas Hak dan Kewajiban Anak karena Pernikahan Dini
Diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di dalamnya terdapat hak dan kewajiban seorang anak yang harus dijamin, termasuk hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Anak juga memiliki kewajiban untuk menghormati orang tua, wali, dan guru, serta mencintai tanah air.
Begitu juga dengan Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, di mana seluruh negara yang tergabung dalam konvensi tersebut berkomitmen untuk melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Konvensi ini menekankan pentingnya hak anak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, perlindungan dari eksploitasi dan kekerasan, serta hak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan mendukung.
Sayangnya, pernikahan dini sering kali melanggar prinsip-prinsip ini, mengakibatkan anak-anak kehilangan kesempatan untuk menikmati masa kanak-kanak, mendapatkan pendidikan yang layak, memenuhi potensi mereka, dan tumbuh dalam lingkungan yang aman. Selain itu, mereka dibebani dengan tanggung jawab dewasa, seperti mengurus rumah tangga dan merawat anak, yang seharusnya belum menjadi tanggung jawab mereka. Akibatnya, mereka tidak hanya kehilangan peluang untuk mengembangkan diri, tetapi juga kehilangan kebebasan dan kesejahteraan emosional.
Pentingnya Pendidikan Seks untuk Mencegah Pernikahan Dini
Meskipun pendidikan seks sering dianggap sebagai kewajiban, penerapan dan pendekatannya dapat bervariasi tergantung pada budaya, kebijakan pendidikan, dan norma sosial di setiap negara atau komunitas. Beberapa negara mungkin mengadopsi pendekatan yang lebih terbuka dan komprehensif, sementara yang lain mungkin masih menghadapi tantangan dalam mengatasi tabu dan stigma terkait topik ini. Penting bagi pemerintah, sekolah, dan orang tua untuk bekerja sama dalam merancang program pendidikan seks yang sesuai dengan konteks budaya lokal, tetapi tetap memberikan informasi yang akurat dan lengkap. Dengan demikian, anak-anak dan remaja dapat dibekali dengan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang sehat dan bertanggung jawab terkait kesehatan reproduksi dan seksual mereka.
Pendidikan seks dapat diberikan sesuai dengan umur dan pemahaman mereka. Contohnya saat masih kecil, mereka bisa diajarkan bagian mana yang tidak boleh disentuh oleh orang lain, serta pentingnya menghargai tubuh mereka. Seiring bertambahnya usia, pendidikan seks dapat berkembang menjadi pembahasan tentang hubungan yang sehat, komunikasi yang baik, dan pemahaman tentang consent. Dengan pendekatan bertahap ini, anak-anak dan remaja dapat membangun pemahaman yang kuat tentang kesehatan reproduksi, tanggung jawab dalam hubungan, serta bagaimana melindungi diri dari situasi berbahaya di masa depan.
Bukankah lebih baik dan aman memberikan pendidikan seks ketimbang anak mencari tahu di internet dan terjebak dalam lubang yang tidak diinginkan?
Penyebab Pernikahan Dini dan Bahayanya
Pernikahan dini bukan hanya dipicu oleh kehamilan di luar nikah, tetapi juga oleh faktor ekonomi, stigma dan tekanan sosial, serta adat istiadat. Dalam situasi ekonomi yang sulit, pernikahan dini sering dianggap sebagai solusi untuk meringankan beban finansial keluarga. Stigma dan tekanan sosial dari masyarakat yang mengharapkan anak menikah di usia muda demi menjaga nama baik keluarga juga berkontribusi besar. Adat istiadat tertentu menganggap pernikahan dini sebagai norma atau ritual yang harus diikuti.
Bahaya pernikahan dini bagi sang ibu sangatlah serius. Anak perempuan yang menikah dini sering kali mengalami komplikasi kesehatan akibat kehamilan dan persalinan di usia muda, karena tubuh mereka belum sepenuhnya siap untuk proses tersebut. Selain risiko kesehatan fisik, seperti anemia, infeksi, dan komplikasi persalinan, mereka juga rentan terhadap masalah kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan. Anak yang dilahirkan juga rentan seperti lahir prematur sampai stunting. Kurangnya akses terhadap pendidikan membuat mereka sulit untuk mandiri secara ekonomi, yang pada gilirannya memperkuat siklus kemiskinan dan cenderung terjadi KDRT.
Bagaimana di Salatiga? Solusi untuk Melawan Pernikahan Dini
Berdasarkan data yang masuk ke DP3APPKB Kota Salatiga, pada tahun 2022 terdapat 19 kasus, tahun 2023 terdapat 20 kasus, dan di tahun 2024 sudah ada 5 kasus yang ditangani untuk mendapatkan surat dispensasi nikah. Meski begitu ada beberapa kasus pernikahan dini yang tidak terdaftar karena tidak dilaporkan, dengan penyebab akibat kehamilan di luar nikah. Hal ini menandakan bahwa permasalahan ini juga tidak luput di Kota Salatiga.
DP3APPKB Kota Salatiga tentu tidak diam untuk menekan angka pernikahan dini. Untuk itu dibuatlah beberapa program, konsultasi, dan rehabilitasi. Untuk tindakan preventif dibentuk forum anak, peran anak di sekolah sebagai pelopor (agen perubahan) dan pelapor, PIK Remaja dan Mahasiswa, hingga forum GenRe (Generasi Berencana). Secara kuratif berkaitan dengan pemberian konseling pra-nikah dan sekolah siaga kependudukan. Sedangkan untuk rehabilitatif, konseling dan pendampingan dilakukan bila terlihat gejala yang mengganggu pada anak.
Dalam upaya mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, penting bagi kita untuk bersama-sama mengatasi permasalahan pernikahan dini. Dengan meningkatkan akses pendidikan, memperkuat sistem pelaporan, dan mengubah norma sosial yang mendukung praktik ini, kita dapat memastikan bahwa anak-anak Indonesia tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun generasi yang cerdas, sehat, dan berdaya, siap untuk membawa Indonesia menuju masa depan yang gemilang.