Air Susu Ibu (ASI) bukan hanya sekadar nutrisi pertama bagi bayi, tetapi juga investasi jangka panjang bagi kesehatan dan kecerdasan anak. WHO dan UNICEF secara tegas merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan bayi, dilanjutkan dengan MPASI yang sesuai hingga usia dua tahun atau lebih. Rekomendasi ini bukan tanpa alasan, karena ASI terbukti mengandung zat gizi lengkap, antibodi, serta senyawa bioaktif lain yang mendukung perkembangan fisik, kognitif, dan psikologis anak.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mendukung para ibu – terlebih yang sedang menyusui, Dj Gita Nugraha bersama dengan dr. Afriliana Mulyani, Sp.A dari RSIA Hermina Mutiara Bunda akan membahas tentang ‘Pentingnya ASI pada Anak’ mulai dari proses terbentuknya ASI, manfaat ASI eksklusif bagi bayi dan ibu, hingga tips praktis bagi ibu bekerja agar tetap bisa menyusui.
Bagaimana ASI Terbentuk?
Menurut dr. Afriliana Mulyani, Sp.A, proses produksi ASI sebenarnya sudah dimulai sejak trimester pertama kehamilan saat hormon dan jaringan kelenjar payudara mulai mengalami perubahan positif. Ketika memasuki trimester ketiga, kadar progesteron melonjak untuk mempersiapkan persalinan, namun turun drastis setelah bayi lahir—fenomena ini dikenal sebagai Lactogenesis II, fase di mana produksi ASI mulai meningkat sebagai respons terhadap penurunan hormon gestasional.
Penurunan progesteron tersebut menjadi sinyal bagi tubuh untuk meningkatkan hormon prolaktin, yang bertanggung jawab atas pembentukan dan produksi ASI, dan hormon oksitosin, yang penting untuk menciptakan refleks let-down—yaitu pengeluaran ASI dari kelenjar ke saluran susu melalui kontraksi otot di sekitar alveoli. Berdasarkan salah satu studi dari National Library of Medicine juga menunjukkan bahwa hisapan bayi secara langsung dapat meningkatkan kadar prolaktin dan oksitosin dalam tubuh ibu, mendukung produksi dan aliran ASI.
Selain itu, IMD atau kontak kulit-ke-kulit segera setelah lahir terbukti memicu pelepasan oksitosin, mempercepat refleks pengeluaran ASI, serta memperkuat ikatan emosional antara ibu dan bayi. WHO mencatat bahwa pemberian ASI dalam satu jam pertama setelah lahir juga menurunkan risiko kematian neonatal karena infeksi dan meningkatkan keberhasilan ASI eksklusif dalam jangka panjang. UNICEF pun menekankan bahwa kebiasaan ini harus menjadi standar dalam pelayanan persalinan, karena meningkatkan kepercayaan ibu dan keberhasilan menyusui hingga enam bulan pertama.
Solusi untuk ASI yang Tidak Keluar dan Tantangan Menyusui
Banyak ibu mengalami kecemasan ketika ASI tidak langsung keluar setelah melahirkan. Padahal, secara fisiologis, tubuh membutuhkan waktu sekitar 48–72 jam setelah persalinan untuk memulai produksi ASI dalam jumlah cukup. Kecuali untuk ibu yang sudah pernah melahirkan karena tubuh mengingat kejadian sebelumnya.
Pada periode awal ini, bayi sebenarnya tidak membutuhkan banyak cairan karena lambungnya masih sangat kecil, dan ia sudah memiliki cadangan cairan alami dari dalam rahim. Bayi bisa bertahan selama 3 hari tanpa ASI, meski begitu bukan berarti proses menyusui boleh ditunda. Justru, kontak awal dan stimulasi dini sangat penting untuk merangsang produksi hormon prolaktin dan oksitosin yang diperlukan dalam pembentukan dan pengeluaran ASI.
Beberapa penyebab produksi ASI lambat antara lain operasi caesar, persalinan prematur, kehilangan darah berlebih, stres berlebihan, serta gangguan hormon seperti hipotiroidisme atau sindrom ovarium polikistik (PCOS). Untuk mengatasinya, ibu disarankan untuk melakukan kontak kulit ke kulit sesegera mungkin dengan bayi, memastikan teknik pelekatan menyusui benar, serta menyusui minimal 8–12 kali dalam 24 jam. Bila bayi belum bisa menyusu secara efektif, teknik hand expression atau memompa ASI bisa digunakan untuk menjaga agar produksi tetap berjalan.
Meski ASI belum tampak keluar secara maksimal, ibu tetap dianjurkan untuk terus menyusui dan tidak terburu-buru memberikan susu formula, kecuali atas anjuran tenaga medis karena kondisi tertentu. Jika masalah berlanjut, ibu dapat mengunjungi konselor laktasi untuk pemeriksaan teknik menyusui dan dukungan emosional.
Manfaat ASI untuk Anak dan Ibu serta Risiko Tanpa ASI Eksklusif
Melansir idai.or.id, ASI mengandung berbagai komponen anti-inflamasi seperti vitamin A, C, dan E, sitokin, enzim dan inhibitor enzim, prostaglandin E, faktor pertumbuhan, insulin, tiroksin dan faktor pertumbuhan saraf yang tidak dimiliki oleh susu formula.
Bagi bayi, manfaat ASI dimulai sejak tetes pertama kolostrum yang kaya protein, vitamin A, dan antibodi penting seperti IgA. Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama terbukti menurunkan risiko infeksi saluran pernapasan, diare, otitis media (radang telinga tengah), hingga alergi. Studi juga menunjukkan bahwa bayi yang mendapat ASI memiliki risiko lebih rendah terhadap asma, diabetes tipe 1 dan 2, serta obesitas di masa depan. Selain itu, kandungan lemak dan DHA dalam ASI mendukung perkembangan sistem saraf pusat dan kecerdasan otak. Beberapa penelitian bahkan menemukan adanya peningkatan IQ sebesar 3–4 poin pada anak yang diberi ASI eksklusif dibandingkan yang tidak disusui sama sekali.
Bagi ibu, manfaat menyusui tidak kalah penting. Aktivitas menyusui merangsang pelepasan hormon oksitosin yang membantu rahim kembali ke ukuran semula dan mengurangi perdarahan pascapersalinan. Menyusui juga meningkatkan metabolisme tubuh, sehingga dapat membantu ibu menurunkan berat badan secara alami setelah melahirkan. Lebih dari itu, menyusui dikaitkan dengan penurunan risiko terkena kanker payudara dan ovarium, diabetes tipe 2, serta penyakit jantung. Semakin lama durasi menyusui, semakin besar pula perlindungan kesehatan yang didapatkan oleh ibu.
Sebaliknya, tidak memberikan ASI secara eksklusif membawa sejumlah risiko. Bayi yang tidak disusui memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi, gizi buruk, alergi makanan, dan gangguan pencernaan. Dalam jangka panjang, anak juga lebih rentan mengalami kelebihan berat badan, gangguan metabolik, hingga gangguan perilaku. Untuk ibu, tidak menyusui berarti kehilangan manfaat alami yang melindungi dari berbagai penyakit kronis.
Cara Memberi ASI Eksklusif bagi Ibu yang Bekerja
Menjalani peran sebagai ibu sekaligus pekerja adalah tantangan tersendiri, terutama ketika berkomitmen untuk memberikan ASI eksklusif. Meski terasa berat, menyusui tetap bisa dilakukan secara optimal dengan persiapan dan dukungan yang tepat. Kunci keberhasilan pemberian ASI oleh ibu bekerja adalah perencanaan sejak awal, manajemen waktu, pengelolaan emosi, serta pemanfaatan teknologi dan kebijakan yang mendukung.
Persiapan bisa dimulai sejak masa cuti melahirkan dengan melatih diri untuk memompa ASI secara teratur dan menyimpan hasilnya dengan benar. Menurut CDC, ibu sebaiknya mulai membangun stok ASI dua minggu sebelum kembali bekerja. Pompa ASI minimal dua hingga tiga kali selama jam kerja, dan tetap menyusui langsung di pagi serta malam hari. Rutinitas ini menjaga suplai ASI tetap stabil dan juga mempererat ikatan emosional dengan bayi. Pompa elektrik ganda (double pump) sangat disarankan karena lebih efisien dan efektif dalam waktu yang terbatas.
Sayangnya, kendala yang sering dihadapi ibu bekerja adalah kurangnya fasilitas yang memadai di tempat kerja. Ruang laktasi atau lactation room menjadi kebutuhan penting yang seharusnya disediakan oleh kantor sebagai bentuk perlindungan hak ibu menyusui. Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 83 Tahun 2003 menyebutkan bahwa perusahaan wajib memberikan kesempatan bagi pekerja perempuan untuk menyusui anaknya selama waktu kerja. Selain itu, Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2013 juga mendorong penyediaan ruang ASI di tempat kerja.
▶️ Baca juga: Ibu Bekerja, Sukses Menyusui: Bekerja Bukan Penghalang untuk Cegah Stunting
Dalam hal penyimpanan, ASI yang sudah dipompa bisa disimpan pada suhu ruang (sekitar 25°C) selama 4 jam, di dalam kulkas (4°C) selama 3–4 hari, dan dalam freezer (-18°C atau lebih rendah) selama 6 bulan. ASI yang beku sebaiknya dicairkan terlebih dahulu di kulkas, lalu dihangatkan menggunakan air hangat sebelum diberikan pada bayi. Jangan panaskan ASI di atas api atau microwave karena dapat merusak kandungan nutrisinya, seperti yang dijelaskan oleh Mayo Clinic.
Peran pengasuh atau anggota keluarga yang merawat bayi saat ibu bekerja juga sangat penting. Mereka harus mendapatkan pelatihan atau setidaknya penjelasan tentang cara memberikan ASI perah dengan benar, termasuk penggunaan cup feeder untuk mencegah bingung puting. Selain itu, menjaga komunikasi antara ibu dan pengasuh secara rutin akan membantu memastikan kebutuhan bayi tetap terpenuhi dengan baik.
Tak kalah penting, kondisi emosional ibu sangat memengaruhi produksi ASI. Ibu bekerja sering mengalami tekanan waktu, kelelahan, dan rasa bersalah karena meninggalkan bayi. Dalam situasi seperti ini, dukungan dari pasangan, keluarga, serta lingkungan kerja sangat dibutuhkan. Berbagi pengalaman dengan sesama ibu menyusui, bergabung dalam komunitas daring, atau berkonsultasi dengan konselor laktasi bisa menjadi bentuk dukungan yang membantu ibu tetap termotivasi dan percaya diri dalam menyusui.
Menjalankan peran sebagai ibu menyusui memang penuh tantangan. Namun dengan pengetahuan yang tepat, perencanaan yang matang, dan dukungan dari keluarga, tenaga kesehatan, serta lingkungan kerja, pemberian ASI eksklusif bukanlah hal yang mustahil. ASI bukan sekadar nutrisi, tetapi fondasi bagi tumbuh kembang anak yang sehat, cerdas, dan kuat.
Selain memberi perlindungan kesehatan jangka panjang bagi bayi, menyusui juga memberikan manfaat besar bagi ibu—baik secara fisik, emosional, maupun sosial. Setiap tetes ASI adalah bentuk cinta dan investasi terbaik untuk masa depan anak. Oleh karena itu, mari dukung para ibu untuk terus menyusui, kapan pun dan di mana pun, karena menyusui adalah hak anak dan pilihan bijak untuk keluarga yang lebih sehat.
No responses yet